Menyikapi Isu Perubahan Iklim: Mulai Saat Ini atau Kita akan Terlambat!
Belakangan ini, tengah viral sebuah
video yang memperlihatkan aksi protes ilmuwan NASA mengenai perubahan iklim
besar-besaran yang telah terjadi beberapa dekade terakhir. Dalam video
tersebut, seorang ilmuwan yang diketahui Bernama Peter Kalmus menyampaikan
kekhawatirannya akibat krisis iklim dengan suara parau. Bahkan, Peter berpendapat
bahwa jika keadaan ini dibiarkan maka bumi ini dapat tidak layak huni di tahun
2025 mendatang.
Hmm, sebenarnya apa yang
terjadi sih? Ada apa dengan bumi kita?
Namun, kalau di rasa-rasa
belakangan ini bumi terasa lebih panas ga sih? Atau hanya perasaan penulis aja
nih?
Dikutip dari website Badan
Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), terdapat anomali (ketidaknormalan)
suhu udara rata-rata bulan Maret 2022. Berdasarkan data dari 88 stasiun
pengamatan BMKG, suhu normal bulan Maret tahun 1991-2020 di Indonesia sebesar
26,8°C (dalam range normal 21,2°C – 28,7°C), sedangkan suhu udara
rata-rata bulan Maret 2022 adalah sebesar 27,1°C. Dari nilai-nilai tersebut,
anomali suhu udara rata-rata pada bulan Maret 2022 menunjukkan anomali positif
dengan nilai sebesar 0,3°C. Anomali suhu udara pada bulan Maret 2022 ini
merupakan nilai anomali tertinggi ke-9 sepanjang periode data pengamatan sejak
1981. Ohh, pantass..
Kenaikan suhu bumi ini, dapat menjadi
salah satu dampak dari perubahan iklim. Dikutip dari website resmi
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, perubahan iklim merupakan perubahan
signifikan terhadap iklim, suhu udara, dan curah hujan mulai dari dasawarsa
sampai jutaan tahun. Perubahan iklim ini dapat terjadi akibat meningkatnya
konsentrasi gas karbon dioksida dan gas-gas lainnya di atmosfer yang
menyebabkan efek gas rumah kaca. Peningkatan gas karbon dioksida dapat dilihat
dengan memperhatikan peningkatan emisi karbon. Emisi karbon sendiri merupakan
gas yang dihasilkan oleh pembakaran senyawa yang mengandung karbon seperti CO2,
solar, dan bahan bakar lainnya. Sederhananya, emisi karbon merupakan pelepasan
karbon ke atmosfer yang dapat disebabkan oleh aktivitas pembakaran senyawa-senyawa
yang mengandung karbon.
Dikutip dari katadata.co.id, didapatkan emisi karbon dunia akibat pembakaran energi dan aktivitas industri dari tahun 2001 hingga 2021 menunjukkan grafik sebagai berikut.
sumber : katadata.co.id |
Dari grafik tersebut, tergambar jelas
bagaimana emisi gas CO2 meningkat dari tahun ke tahun. Meskipun demikian,
emisi gas tersebut sempat mengalami penurunan di tahun 2020 karena pembatasan
kegiatan masyarakat secara masif akibat pandemi COVID-19. Namun, di tahun 2021,
kembali terjadi kenaikan emisi gas CO2 sekitar 6% dari tahun
sebelumnya. Angka ini digadang-gadang menjadi yang tertinggi sepanjang sejarah,
yaitu 36,3 miliar ton emisi dihasilkan dari ketergantungan akan batu bara dan
gas alam untuk menggerakkan pertumbuhan ekonomi. Jika tidak ditanggapi dengan
serius, emisi gas karbon dioksida dapat mengganggu stabilitas dan kenyamanan
hidup manusia karena menyebabkan suhu udara meningkat dan pemanasan global
dapat terjadi untuk jangka waktu yang lama.
Lalu untuk mencegah hal
itu terjadi, apa yang harus kita lakukan?
Menanam pohon atau tumbuhan di rumah,
menghemat penggunaan listrik dan air, serta mengurangi penggunaan kendaraan
bermotor sudah cukup membantu penurunan emisi gas karbon dioksida. Dukungan dan
penguatan terhadap investasi pengembangan dan pengaplikasian EBT (Energi Baru
Terbarukan) juga penting untuk menekan laju emisi dan mengejar target nol emisi
pada 2050. Partisipasi aktif masyarakat dalam menyikapi perubahan iklim yang
tercantum dalam agenda SDGs ke-13 tentang Climate action perlu dijadikan
prioritas sebagai bentuk kepedulian terhadap bumi yang kita tempati.
Jadi, mari bersama-sama
menjaga bumi kita agar tetap lestari!