The Japanese Work Culture: Samurai Pemberantasan Korupsi
Juni 29, 2012
igsd
Sebuah prediksi ilmiah dari Prof Hugh white, ekonom dari Australian National University mengatakan bahwa Indonesia akan menjadi negara maju pada tahun 2040. Berbeda pendapat dengan Direktur Jenderal Foundation Ogawa Tadashi bahwa Indonesia telah menjadi negara maju dan bukan lagi negara berkembang, yang didukung dengan bukti bahwa Indonesia mengalami perkembangan yang pesat. Melihat kemajuan ini, posisi Indonesia dan Jepang bisa dikatakan sejajar. Dibalik hal tersebut, masih banyak masalah yang harus diselesaikan. Indonesia selalu menjadi ‘juara bertahan’ dalam soal korupsi. Indonesia menduduki peringkat ke-3 sebagai negara terkorup di Asia setelah Filipina dan Thailand.
Menjamurnya kasus korupsi juga merupakan imbas dari gaya hidup konsumtivisme dan hedonistis. Memang ada benarnya bahwa ketika masyarakat terjerumus ke dalam lingkaran dunia konsumtif, maka ukuran kesenangan, kepuasan dan kebahagiaan hidup ditentukan oleh banyaknya harta yang dimiliki dan yang dikonsumsi, serta tercapainya status sosial yang tinggi. Kenyataannya, ada fenomena dalam tubuh pemerintah yaitu mengumpulkan harta kekayaan sebanyak-banyaknya dengan kualitas kinerja pemerintah seminimal mungkin. Budaya korupsi ini harus segera diberantas dalam mempersiapkan Indonesia sebagai negara maju. Salah satu negara maju yang dapat dijadikan acuan adalah Jepang. The Japanese work culture merupakan budaya yang paling populer di Jepang sebagai faktor pendukung dalam memajukan negara ini. Apabila Indonesia mampu menerapkan the Japanese work culture dalam kualitas kinerja pekerjaan pemerintah, maka mampu mengecilkan tingkat korupsi serta Indonesia dan Jepang bisa dikatakan sejajar.
The Japanese work culture terbentuk dari kebudayaan masyarakat Jepang yang selalu ingin bekerja keras. Fakta pertama, masyarakat Jepang memegang filosofi ‘uang hanya bisa didapat dengan bekerja’. Filosofi tersebut yang mendasari kecilnya angka korupsi di negara dengan sebutan Negeri Matahari Terbit ini. Negara ini bersih dari peminta-minta atau orang yang menadahkan tangan di tempat umum. Hal ini terjadi karena tidak akan ada orang yang memberi. Bukan alasan bagi masyarakat Jepang untuk memberi karena kasihan atau miskin, tetapi bagi mereka ini dianggap sebagai penghinaan. Betapa berharganya suatu proses atau pekerjaan di Negara Sakura ini. Dalam mencapai hasil berupa uang dibutuhkan proses yang tidak cuma-cuma.
If you’re rich and you die in Japan, be prepared to pay. Sebuah ungkapan yang menyatakan bahwa kaya turunan atau warisan sangat susah diterapkan. Dengan kenyataan bahwa pajak warisan di negara tersebut sangat besar, sekitar 10%-70%. Jadi, bukan hal yang aneh apabila seorang anak mendapatkan warisan tanah yang luas, harus menjual sebagiannya untuk membayar pajak dalam dua atau tiga generasi dan akan habis untuk bayar pajak saja. Artinya, di Negara Jepang ini warisan yang paling berharga diberikan adalah membiarkan mereka sanggup berusaha sendiri dengan bekerja.
Praktek filosofi ‘uang hanya bisa didapat dengan bekerja’ sudah mendarah daging sejak kecil. Hampir kebanyakan pelajar atau mahasiswa Jepang harus memiliki pengalaman bekerja paruh waktu. Bila si anak merasa kekurangan uang saku, maka si anak harus bekerja untuk mendapatkan uang saku yang lebih. Kejadian yang lebih menarik, ketika kewajiban orang tua dalam menyekolahkan anak sudah selesai, maka orang tua pada umumnya cenderung memaksa anaknya keluar dari rumah untuk belajar mandiri. Apabila si anak masih tinggal di dalam rumah orang tuanya, maka si anak tetap membayar sejumlah uang untuk biaya kamar dan makan. Ini sebagai bukti bahwa budaya kerja dan kemandirian di Jepang selalu menjadi bahan pokok dalam mendidik anak sejak dini.
Time is money. Filosofi yang menjadi fakta kedua bahwa masyarakat Jepang sanggup berkorban dengan bekerja lembur demi mendapatkan hasil yang maksimal. Mereka merasa lebih dihargai jika diberikan pekerjaan yang berat dan menantang. Hasil yang maksimal akan didapatkan secara otomatis, jika hasil produksi meningkat dan mendapatkan keuntungan besar. Dalam pikiran dan jiwa masyarakat Jepang, hanya ada keinginan untuk melakukan pekerjaan sebaik mungkin dan mencurahkan seluruh komitmen pada pekerjaan. Rata-rata jam kerja pekerja Jepang adalah 2.017 jam/tahun dan masih lebih tinggi dibandingkan rata-rata jam kerja pekerja negara maju lainnya, salah satunya Amerika(1.957 jam/tahun)[1]. Ukuran nilai dan status orang Jepang didasarkan pada disiplin kerja dan jumlah waktu yang dihabiskan di tempat kerja.
Berbeda dengan budaya kerja masyarakat Indonesia yang pada umumnya selalu ingin pulang lebih cepat. Keterlambatan kerja juga dianggap sepele. Seorang atasan berkebangsaan Jepang pernah berkata bahwa salah satu budaya masyarakat Indonesia adalah jam karet. That’s the problem. Hal ini sebenarnya bisa menjadi cerminan diri bahwa masyarakat Indonesia masih sulit melakukan manajemen diri sehingga hasil yang didapatkan kurang optimal. Prinsip tepat waktu dengan tertib dan disiplin selalu menjadi bagian utama masyarakat Jepang untuk melancarkan urusan pekerjaanya.
Ketika masyarakat Jepang sedang menghadapi masalah, terutama dalam hal pekerjaan sehari-hari, masyarakat Jepang cenderung memilih untuk mengambil keputusan berdasarkan data. Fakta ketiga yang menunjukkan masyarakat Jepang selalu bersemangat dan pantang menyerah. Genba atau langsung bergerak ke lapangan merupakan cara mereka mendapatkan data. Kemudian data tersebut diolah dan dilakukan analisa terhadap data yang diambil secara bersama-sama. Perilaku positif dari masyarakat Jepang lainnya adalah suka berbagi dan berdiskusi dengan rekan kerjanya.
Proses konsultasi atau diskusi menjadi bagian penting dalam pelaksanaan tugas. Komunikasi ditata sedemikian rupa untuk memperkuat rantai teamwork dan lebih akrab dikenal dengan sebutan Horenso. Budaya Horenso meliputi houkuko yang memiliki makna kebiasaan melaporkan sesuatu kepada atasan, rentaku berarti menginformasikan kepada orang lain dan soudan yang memiliki pengertian berdiskusi atau berkonsultasi, menjadi pegangan dalam mengantisipasi ketidaksesuaian dalam bekerja. Dengan Horenso, satu masalah bukan hanya menjadi beban bagi satu pekerja tetapi menjadi tanggung jawab bersama. Bangsa sebutan Matahari Terbit ini memiliki typical sebagai pekerja gesit, tidak banyak bicara tetapi banyak bekerja, tidak banyak melakukan pekerjaan yang bersifat membuang waktu dan fokus pada pekerjaan.
Pada mulanya, Jepang bukanlah negara maju yang patut diperhitungkan dan ditakuti di dunia. Jepang dikenal sebagai negara yang mempunyai banyak kekurangan antara lain dari segi fisik masyarakat Jepang berpostur kecil, wilayah teritorial yang sempit, dari segi geografis Negara Jepang terletak di jalur lempeng pergeseran kerak bumi yang berpotensi rawan gempa bumi, sumber daya alam yang terbatas dan masih banyak kekurangan lainnya. Fakta yang bertolak belakang dengan kondisi Bangsa Indonesia yang kaya sumber daya alam. Pada dasarnya, etos dan budaya kerja masyarakat Jepang tidak jauh berbeda dengan bangsa Asia lainnya. Jika mereka disebut pekerja keras, maka Bangsa Cina, Korea dan bangsa lainnya juga pekerja keras. Hal yang membedakannya terdapat dalam sistem pengolahan organisasinya. Negara Jepang memiliki keunikan tersendiri dan patut dicontoh oleh negara-negara berkembang di dunia, seperti Indonesia. Dalam organisasi Jepang, pengelola berawal dari posisi bawahan. Sikap terus terang mengurangi konflik antara pihak pengelola dan bawahan. Fakta yang lebih menarik lagi, Bangsa Jepang lebih suka mengaitkan diri mereka sebagai anggota organisasi tertentu daripada memperkenalkan diri berdasarkan asal negara dan keturunannya. Kemauan Bangsa Jepang menjadi hamba organisasinya merupakan faktor kesuksesan negara ini. Rahasia tersebut yang menjadikan fakta keempat dari the Japanese work culture.
Fakta terakhir, Bushindo dikenal sebagai karakter dasar budaya kerja masyarakat Jepang. Bushindo berasal dari kata Bu berarti senjata, Shi berarti orang dan Do yang artinya jalan/the way of life. Prinsip bushindo ini, pertama kali diterapkan dikalangan para prajurit saja dan dikenal sebagai etos para samurai. Namun perputaran waktu membawa Jepang menjadi bangsa yang maju, sehingga bushindo diterapkan dalam segala aspek, termasuk para wirausaha, birokrat dan kaum cendikiawan serta seluruh lapisan masyarakat.
Kenyataan lainnya, masyarakat Jepang tidak peduli dengan agama. Berbeda dengan Indonesia yang telah mengakui lima agama resmi. Tetapi kenyataannya, pemerintah masih miskin iman walaupun telah menganut agama tertentu, sehingga korupsi masih mengakar dan membudaya dalam tubuh pemerintah dengan membentuk wajah koruptor-koruptor baru. Hukuman mati sudah didesak untuk dilakukan bagi para koruptor, kenyataanya masih banyak bentuk-bentuk penyangkalan dalam tubuh koruptor itu sendiri. Bagi Jepang, lebih baik bunuh diri ketika ketahuan melakukan pekerjaan yang tidak sesuai dengan prosedur pekerjaan.
Bagi orang Jepang, kerja itu seperti permainan yang dimainkan bersama teman akrab. Bangsa Jepang tidak menganggap tempat kerja hanya sekedar sebagai tempat mencari makan, tetapi juga menganggapnya sebagai bagian dari kehidupannya. Budaya ini harus dipupuk dan dilatih, sehingga mengakar dalam pemikiran dan jiwa masyarakat Indonesia. Cara paling mendasar yaitu dengan memberi dan menumbuhkan terus semangat anak-anak sejak usia dini dengan cara yang menyenangkan dan juga menjauhkan sikap manja dan memanjakan. Pemberian dan penumbuhan semangat kepada anak-anak dapat dilakukan dengan gaya penghindaran unsur 3K yaitu, Kanashii, Kiken dan Kitsui. Membicarakan unsur Kanashii atau sedih, bisa dijelaskan bahwa sikap keseharian masyarakat Jepang dalam hidupnya memang selalu menghindari hal-hal yang bisa membuat dirinya atau orang lain sedih, misalnya tidak memberi informasi secara jelas, tidak menepati janji, membingungkan, mengganggu dan lainnya. Unsur penghindaran lainnya adalah Kiken atau bahaya, yaitu unsur yang menjelaskan bahwa dalam melakukan suatu tindakan harus dipikirkan terlebih dahulu agar tidak mendatangkan bahaya, misalnya selalu mematuhi peraturan lalu lintas dan membuat sistem keamanan. Selanjutnya, Kitsui atau bekerja kasar/kotor adalah hal yang paling dibenci masyarakat Jepang. Semangat Bangsa Jepang dalam menjauhi tiga unsur tersebut dapat ditularkan pada masyarakat Indonesia dengan membudayakannya pada anak-anak sejak usia dini.
Korupsi di Indonesia sudah berada dalam kondisi stadium empat, bukan hanya para pejabat besar, para pejabat kecil pun hingga rakyat biasa seperti sudah akrab dengan perilaku ini. Jika perilaku ini sudah terjadi diberbagai kalangan, bukan lagi perseorangan, ini bisa disebut dengan budaya. Sebuah budaya hanya bisa ditanggulangi dengan tandingan budaya lain, tidak cukup hanya dengan hukum yang bersifat memaksa-normatif dan sekarang sangat tebang pilih. Butuh budaya tandingan seperti the japanese work culture sebagai acuan untuk mengatasi korupsi di tanah air ini. Membangun the Japanese work culture tidaklah semudah membalikkan telapak tangan, butuh keteladanan seorang pemimpin yang konsisten dalam menjalankannya.
Untuk itu, tidak ada alasan lagi bagi Indonesia tidak bisa menjadi seperti Jepang. Indonesia memiliki sumber daya alam melimpah daripada Jepang, tenaga manusia murah, infrastruktur yang baik dan kedudukan geografis yang strategis. Jepang dan Indonesia hanya berbeda pada posisi budaya kerjanya. Dengan acuan the Japanese work culture, tidak ada alasan untuk kita gagal melaksanakannya. Jepang sudah membuktkannya. Kekuasaan ada di tangan kita bukan terletak pada negara.
BAGIKAN