Ekspor Paksa Nikel : Reinkarnasi VOC di Zaman Modern?
Akhir-akhir ini, Indonesia dihebohkan dengan pernyataan Presiden Republik Indonesia, Ir. Joko Widodo, yang menyatakan istilah VOC modern atas tindakan ekspor paksa yang dialami oleh Indonesia. Pernyataan tersebut bermula dari adanya gugatan Uni Eropa di World Trade Organization (WTO) pada November 2019 karena diklaim pembatasan ekspor bahan baku Indonesia secara tidak adil telah merugikan industri baja nirkarat di Benua Biru. Faktanya, sejak 1 Januari 2020, pemerintah Indonesia memberlakukan larangan ekspor bijih nikel. Keinginan Indonesia akan pemberhentian ekspor bijih nikel sebenarnya sudah ada sejak 2009, namun mundur ke tahun 2014, dan kemudian realisasi di tahun 2017.
Larangan ekspor bijih nikel diklaim pemerintah dapat memberikan dampak positif bagi investasi pertambangan dan ekspor produk turunan nikel lewat hilirisasi dan tren kendaraan listrik yang begitu masif dan turut memberikan nilai tambah yang tinggi bagi produk pertambangan, khususnya nikel, apabila dikembangkan di dalam negeri.
Empat BUMN membentuk Indonesia Battery Corporation (IBC) agar turut serta dalam usaha hilirisasi nikel dengan membangun smelter feronikel di Halmahera Timur bernama HalTim. Dengan kebijakan yang dibuat pemerintah, hasil tambang dapat diolah menjadi komoditas yang bernilai tinggi dan bisa dirasakan oleh rakyat. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 33 UUD 1945, bahwa sumber daya alam digunakan untuk sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat. Diharapkan dengan adanya hilirisasi industri, semua produk turunan nikel, seperti baja, panci, sendok, dan lainnya dapat diproduksi. Dengan dihentikannya ekspor bijih nikel, industri pengelolaan bijih nikel akan dibangun menjadi komoditas bernilai tinggi misalkan feronikel yang nilai tambahnya 14 kali dari bijih nikel atau billet stainless steel yang nilai tambahnya 19 kali.
Sumber : djkn.kemenkeu.go.id, akseleran.co.id, katadata.co.id
Seiring berjalannya waktu, tren penggunaan kendaraan listrik semakin meningkat di dunia dan nikel merupakan bahan baku penting untuk memproduksi baterai sebagai sumber daya utama. Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki bahan baku terbaik di dunia untuk produksi baterai lithium-ion, yaitu bijih nikel kadar rendah atau biasa disebut limonit (0,8-1,5% nikel). Penggunaan nikel kadar rendah sebagai bahan baku baterai menjadi prioritas sesuai PP Nomor 55 Tahun 2019 Tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Battery untuk Transportasi Jalan.
Maraknya kebutuhan nikel sebagai bahan baku baterai listrik membuat banyak negara mengincar bijih nikel yang diproduksi Indonesia. Oleh karena itu, setelah kebijakan larangan ekspor bijih nikel diterapkan, Uni Eropa di WTO terus melancarkan gugatan terkait larangan tersebut. Sementara itu, investasi untuk pembangunan smelter hingga pabrik baterai kendaraan listrik terus mengalir masuk ke dalam negeri. Adapun beberapa perusahaan asing yang memproduksi baterai listrik dalam jumlah besar adalah sebagai berikut.
Sumber : katadata.co.id, esdm.go.id
Indonesia sebagai negara penghasil bijih nikel selama ini telah melakukan ekspor komoditas tersebut ke banyak negara. Tetapi, Indonesia sadar bahwa bijih nikel ini merupakan kunci dalam perkembangan industri di masa depan. Momentum ini dimanfaatkan Indonesia untuk penambahan nilai jual dengan hilirisasi nikel dengan melarang ekspor nikel dalam bentuk mentah, tetapi dalam bentuk setengah jadi. Pelarangan ekspor bijih nikel oleh Indonesia ini tentunya dapat menyebabkan matinya industri nikel di Eropa, apalagi ke depan industri mobil listrik yang menggunakan lithium battery akan menjadi kebutuhan umum
Hingga saat ini, WTO masih menyatakan dukungannya pada Uni Eropa. Lewat putusan panel, larangan terhadap ekspor nikel dan persyaratan pemrosesan domestik yang mengharuskan semua bijih nikel dimurnikan di Indonesia dianggap tidak sejalan dengan aturan perdagangan global atau General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) 1994. Indonesia tidak tinggal diam. Hal ini dibuktikan dengan pernyataan banding oleh Indonesia untuk tetap dapat melanjutkan rencana hilirisasi nikel dan memberikan keuntungan yang lebih kepada negara. Keputusan yang diambil merupakan langkah yang tepat. Mempertahankan hilirisasi dengan eksistensi sekaligus penambahan perusahaan smelter menjadi kunci optimalnya pertambangan nikel di Indonesia. Industri baru yang dibuka turut membuka lapangan pekerjaan, pendapatan negara berupa pajak, alih teknologi, dan UMKM ikut terdampak.
Namun, semua ini tidak didapatkan dengan instan. Pencarian investor, aturan hukum mengenai hilirisasi yang jelas, stabilitas politik, konsistensi ketersediaan bahan baku, penampungan komoditas industri hilirisasi domestik/luar negeri, hingga kebijakan inovatif lainnya diperlukan untuk menunjang kebijakan ini. Pada akhirnya, kemandirian pengolahan bijih nikel mendatangkan kesejahteraan pada masyarakat.
Sumber
Alliyah, D.F. 2022. Hilirisasi Bahan Tambang: Sebuah Upaya Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat. Diakses pada 19 April 2023 dari
https://setkab.go.id/hilirisasi-bahan-tambang-sebuah-upaya-peningkatan-kesejahteraan-masyarakat/
Callista, A.D. 2022. Potensi Komoditas Nikel di Indonesia. Diakses pada 19 April 2023 dari
https://www.akseleran.co.id/blog/potensi-komoditas-nikel-di-indonesia/
Daniel, A.F. 2022. Sengketa Bijih Nikel, Uni Eropa Minta Indonesia Patuhi Putusan WTO. Diakses pada 19 April 2023 dari
Fajrian, H. 2022. Kilas Balik Larangan Ekspor Nikel RI Hingga Digugat dan Kalah di WTO. Diakses pada 19 April 2023 dari
Ferry, S. 2020. Luhut Ungkap Rahasia Kenapa Eropa Nekat Gugat RI Soal Nikel. Diakses pada 19 April 2023 dari
Kementerian ESDM. 2019. Bijih Nikel Tidak Dapat Diekspor Lagi Per Januari 2020. Diakses pada 19 April 2023 dari
Kusnandar, V.B. 2022. Kalah Gugatan di WTO, Ini Ekspor Nikel di Indonesia 5 Tahun Terakhir. Diakses pada 20 April 2023 dari
Rodani, A. 2022. Gugatan Uni Eropa di World Trade Organization (WTO) Mengancam Hilirisasi Industri Pertambangan di Indonesia. Diakses pada 19 April 2023 dari