Dari Be Served Oriented ke Service Oriented

April 01, 2012 igsd

Apa yang Anda pikirkan ketika membaca judul di atas? Tahukah Anda sasaran saya kali ini? Ya, sasaran tulisan saya kali ini adalah PNS. Why?

Saat ini pemerintah sedang asik asiknya menggemborkan tentang reformasi birokrasi. Apa yang terlintas pertama kali dalam benak Anda ketika mendengar kata reformasi birokrasi? Remunerasi? Mungkin sebagian besar orang akan menjawab “ya”. Sebagian yang lain menjawab “lebih dari sekedar remunerasi”. Reformasi birokrasi dianggap sebagai penguatan hegemoni kekuasaan pejabat masa sekarang. Betapa tidak? Pertaruhan besar di taruhkan dalam hal ini, mulai dari integritas, produktifitas, hingga tanggung jawab yang tinggi yang selama ini kita ketahui sangat berbeda dengan kenyataan di lapangan.


Reformasi birokrasi di BPS (Badan Pusat Statistik) terkenal dengan core value-nya yaitu profesional, integritas, dan amanah. Dalam beberapa tahun terakhir ini Badan Pusat Statistik (BPS) berupaya untuk melakukan perubahan dan reformasi yang mendasar terhadap sistem penyelenggaraan kegiatan statistik, melalui pembangunan profil dan perilaku aparatur BPS yang profesional, berintegritas, bertanggung jawab, serta mampu memberikan pelayanan prima kepada publik.

Pembahasan kali ini kita mulai dengan “integritas”. Integritas merupakan kesesuaian apa yang dilakukan, diucapkan, dan diyakini dalam hati nurani. Tujuan utamanya tentu menghindarkan diri dari korupsi. Jika menurut Transparency International Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia baru 3,0, reformasi birokrasi menjadi tumpuan utama untuk memperbaiki IPK tersebut. Tidak perlu muluk-muluk dengan hanya berpangku tangan pada KPK sebagai lembaga yang punya kepentingan tentang hal ini. Reformasi birokrasi diharapkan bisa menjadi alat pencegah efektif tindakan korupsi di lingkungan Pegawai Negeri.

Hal ini disesuaikan dengan semangat Reformasi Birokrasi itu sendiri sesuai dengan Permen PAN No. 15 tentang Pedoman Umum Reformasi Birokrasi yakni membangun birokrasi yang bersih, efisien, efektif, produktif, transparan, melayani masyarakat dan akuntabel. Terkesan muluk karena bertentangan dengan apa yang terjadi saat ini dimana efisiensi lembaga pemerintah dipertanyakan. Contoh kecil bisa terlihat pada BPS yang saat ini kehilangan kepercayaan masyarakat sebagai penghasil data yang faktual. Kenapa hal ini bisa terjadi? Selain itu ada masalah kurangnya produktifitas PNS karena gemuknya formasi PNS dalam kelembagaan tertentu, tidak meratanya penempatan PNS, sebagai contoh banyak kekurangan PNS di daerah tapi kelebihan PNS di kota. Hal-hal tersebut bukan berari tanda bahwa Indonesia akan kiamat. Dengan sasaran utama adalah mind set dan culture set, reformasi birokrasi diharapkan dapat memproklamirkan perubahan yang signifikan. Terutama pada tata kelola organisasi, kelembagaan serta sumber daya manusia aparatur Negara agar terciptanya good governance.

Good Governance? Mungkinkah? Atau hanya sekedar mimpi belaka? Memang memimpikan good governance di “negeri autopilot” ini seperti mimpi yang tidak akan pernah terwujud. Setidaknya itu yang sebagian besar masyarakat pikirkan. Pembuatan KTP aja susahya bukan main terlalu berbelit-belit, itu anggapan banyak orang saat ini. Sulit memang, tapi masih ada harapan. Negeri ini masih ada harapan. Nah pada reformasi birokrasi inilah kita menggantungkan harapan. Memperpendek jalur birokrasi dalam mengurus surat keterangan, mempersingkat permohonan izin, serta meningkatkan produktifitas PNS. Usaha public trust building yang dilakukan dalam reformasi birokrasi seharusnya bisa membawa angin segar untuk upaya pemberantasan KKN. Masyarakat bisa dengan seksama mengawasi dan mampu melaporkan secara langsung kepada tempat pengaduan atas ketidakpuasan layanan yang diberikan PNS. Istilahnya bottom-up. Dimana end user (masyarakat), berhak memberikan perintah untuk dilayani dengan prima oleh PNS.

Usaha untuk merubah mind set dan culture set pun harus digarap dengan serius. PNS harus mulai memposisikan dirinya sebagai pelayan bukan sebagai orang yang dilayani.Memang proses ini tak berlangsung ujug-ujug, tidak bisa 100%, setidaknya 75% tercapai sehingga masyarakat tidak akan menemukan lagi PNS yang marah saat ada masyarakat salah membawa persyaratan perpanjangan KTP, masyarakat tidak akan menemukan lagi PNS yang berusaha mempersulit pengurusan izin kalau tidak diberi uang, masyarakat tidak akan menemukan PNS yang terlambat membuka counter layanan pajak kendaraan bermotor lagi, masyarakat tidak akan menemukan lagi pelayanan yang molor, karena sejatinya PNS adalah pelayan bagi masyarakat. PNS bukan pengemis dengan diberi uang untuk melakukan sesuatu apalagi orang yang harus dilayani karena memiliki jabatan tertentu ataupun orang yang bebas masuk seenak perutnya dan melayani sekena dengkulnya. PNS haruslah sudah memposisikan diri sebagai orang yang punya kewajiban penuh untuk memenuhi syarat pelayanan minimal dari masyarakat dan malu jika masyarakat tidak menyukai kinerja nya.

“Menjadi abdi negara (PNS) berarti menjadi Pelayan bagi masyarakat. Seharusnya, Abdi melayani masyarakat bukan minta dilayani masyarakat. Reformasi birokrasi diharapkan bisa merubah mind set dari be Served Oriented menuju service oriented. Selain itu, juga merubah culture set dari PGPS (Pintar Goblok Penghasilan Sama) menuju penilaian kinerja individu. Semua akan berhasil jika dan hanya jika adanya keseriusan dan kerjasama antar Pemerintah dan masyarakat karena Negara ini bukan “hanya” milik pemerintah. Pemerintah adalah pelayan, yang memiliki saham terbesar Negara ini adalah Warga Negara Republik ini. "Bersama untuk Indonesia yang lebih baik”.

Oleh: Betik Endaryati (1M)

Beri Komentar