Pendidikan Inklusif bagi Penyandang Difabel

Januari 30, 2014 igsd

Permasalahan pendidikan yang dihadapi bangsa Indonesia adalah masih rendahnya mutu pendidikan pada setiap jenjang dan satuan pendidikan. Laporan dari UNESCO (United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization) 2000 tentang Human Development Index (HDI), komposisi dari peringkat pencapaian dalam pendidikan, dilaporkan bahwa pada tahun 1999 Indonesia berada pada tingkat 109 dari 174 negara, tahun berikutnya keadaan kita lebih terpuruk lagi menjadi 114 dari 146 negara. Rendahnya HDI menunjukkan rendahnya daya saing bangsa di tingkat Global.

Pendidikan nasional memiliki peranan yang sangat penting bagi warga negara. Pendidikan nasional bertujuan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, oleh karena itu setiap warga negara berhak untuk mendapatkan pendidikan. Seperti tercantum di dalam Undang-undang Dasar 1945 pasal 31 ayat 1 dan Undang-undang Nomor 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional bab III ayat 5 dinyatakan bahwa setiap warga negara mempunyai kesempatan yang sama memperoleh pendidikan. Hal ini menunjukkan bahwa anak difabel berhak pula memperoleh kesempatan yang sama dengan anak lainnya dalam pendidikan.

Berdasarkan data BPS (Badan Pusat Statistik) melalui SUSENAS (Survei Sosial Ekonomi Nasional) pada Tahun 2006 jumlah difabel di Indonesia sebanyak 3,06 juta jiwa atau 1,38 persen dari seluruh penduduk Indonesia. Proporsi penduduk difabel dengan jenis difabel tunanetra mempunyai proporsi paling tinggi (59,10 persen) dibandingkan dengan jenis difabel lainnya. Selain penglihatan, jenis difabel dengan proporsi paling tinggi lainnya adalah difabel tunarungu dan difabel ortopedi yaitu sebesar 56,98 persen dan 40,42 persen. Difabel ortopedi merupakan difabel yang memiliki kekurangan pada anggota gerak. Selain itu sudah menjadi keharusan bagi pemerintah dan masyarakat untuk memerhatikan masalah aksesbilitas bagi penyandang difabel.

Pendidikan inklusi lahir sebagai bentuk ketidakpuasan penyelenggaraan pendidikan bagi anak-anak difabel yang menggunakan sistem segregasi melalui Sekolah Luar Biasa (SLB) yang membedakan antara sekolah reguler dan sekolah bagi anak-anak difabel. Sistem segregasi dipandang tidak berhasil, sistem ini tidak dapat mempersiapkan anak-anak difabel untuk dapat hidup secara mandiri. Sistem ini justru membangun tembok eksklusivisme bagi anak-anak berkebutuhan khusus dengan masyarakat sehingga para ABK menjadi komunitas yang teralienasi dalam masyarakat. Mereka yang berbeda karena kekurangannya menjadi tidak percaya diri, terasing, dan kurang kontak sosial dengan masyarakat (IDP, Norway, 2005, Kompas 2005).

UNESCO lantas mencetuskan kebijakan pendidikan inklusif. Kebijakan ini menjadi penting karena sudah sejak lama anak berkebutuhan khusus juga memiliki keinginan yang besar untuk belajar di sekolah reguler dan juga bersoalisasi dengan anak-anak normal (Kompas, 2005). Di Indonesia, implementasi pendidikan inklusif ditandai dengan terbitnya Surat Edaran Dirjen Dikdasmen Nomor 380/C.C6/MN/2003 tanggal 20 Januari 2003 tentang pendidikan inklusif yang menyatakan bahwa penyelenggaraan dan pengembangan pendidikan inklusif di setiap kabupaten/kota sekurang-kurangnya empat sekolah yang terdiri dari SD, SMP, SMA, dan SMK. Hal ini dikukuhkan lagi dengan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 70 Tahun 2009 tentang pendidikan inklusif bagi peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa. Hal ini sesuai dengan Lampiran Peraturan Menteri No.22 Tahun 2006 yang berbunyi: „‟Peserta didik pendidikan inklusif adalah peserta didik berkelainan tanpa disertai dengan kemampuan intelektual di bawah rata-rata yang berkeinginan untuk melanjutkan pendidikan sampai ke jenjang pendidikan tinggi. Berkelainan dalam hal ini adalah tunanetra, tunarungu, tunadaksa ringan, dan tunalaras”.

Florida State University Center for Prevention & Early Intervention Policy (2002) mendefinisikan pendidikan inklusif sebagai sebuah usaha untuk membuat para siswa yang memiliki ketidakmampuan tertentu pergi ke sekolah bersama teman-teman dan sesamanya serta menerima apa pun dari sekolah seperti teman-teman yang lainnya terutama dukungan dan pengajaran yang didesain secara khusus yang mereka butuhkan untuk mencapai standar yang tinggi dan sukses sebagai pembelajar. Dari definisi tentang inklusif di atas, kita dapat mengatakan bahwa sekolah inklusif adalah lembaga pendidikan formal yang menyediakan layanan belajar bagi anak-anak berkebutuhan khusus untuk belajar bersama-sama dengan anak normal dalam komunitas sekolah reguler di mana setiap anak diterima menjadi bagian dari kelas, diakomodir, dan direspon kebutuhannya sehingga setiap anak mendapat peluang dan kesempatan yang sama untuk mengembangkan potensinya.

Sekolah inklusi merupakan sebuah lembaga pendidikan yang sesuai baik bagi anak difabel ortopedi maupun anak normal. Dikarenakan dengan penempatan anak normal dan anak difabel didalam kelas yang sama (kelas reguler) dapat menumbuhkan sikap saling menghargai, dan toleransi. Menurut Thomas Lombar dalam diskusinya tentang “Responsible Inclusion”, siswa difabel yang diberikan pengajaran di kelas terpisah seringkali merasa tidak termotivasi, rendah diri, dan tidak berdaya. Dengan penempatan anak difabel di sekolah inklusi dapat menumbuhkan sikap positif bagi siswa difabel yang berkembang dari komunikasi dan interaksi dari pertemanan dan kerja sebaya. Anak difabel belajar keterampilan sosial dan menjadi siap untuk tinggal di masyarakat karena mereka dimasukkan dalam sekolah umum.


Florida State University Center for Prevention & Early Intervention Policy. 2002. What is Inclusion?, (Online), (http://www.pdfgeni.com/ref/What-is-Inclusion-pdf.html, diakses 01 Nopember 2011.
Kompas. 14 Desember 2005. Susahnya Mencari Sekolah Inklusi, (Online), http://www.susahnya _Mencari_Sekolah_Inklusi_Kompas141205.pdf.


Oleh: Debita 55

Beri Komentar