Statistisi (Tidak) Kekurangan Nutrisi

Oktober 30, 2014 igsd

Nutrisi atau disebut juga zat gizi adalah unsur terkecil di dalam makanan yang dibutuhkan organisme untuk dapat tumbuh dan berkembang. Nutrisi diperoleh dengan cara pemecahan makanan oleh sistem pencernaan sehingga menjadi sari-sari makanan. Secara prinsip, nutrisi dalam jumlah yang memadai dan sesuai dengan kebutuhan akan memberikan energi bagi tubuh untuk dapat tumbuh dan berkembang, serta memperbaiki jaringan tubuh yang rusak. Kekurangan nutrisi akan membuat organisme tidak tumbuh dan berkembang secara optimal. Oleh karena itu, manusia berupaya untuk memenuhi kebutuhan nutrisi tubuh dengan mengkonsumsi makanan yang mengandung nutrisi.

Dalam kenyataannya, penggunaan istilah nutrisi sebagai “pendorong” atau “pemicu” (trigger) setiap kegiatan yang berlangsung di dalam tubuh sering dianalogikan saat seseorang mengerjakan sesuatu. Ketika seseorang melakukan sesuatu secara cermat dan tepat memanfaatkan seluruh sumber daya yang ia miliki, dapat dikatakan bahwa nutrisi orang tersebut telah mencukupi. Sedangkan saat ia tidak mengerjakan kewajiban dengan semestinya dikarenakan tidak memiliki sumber daya yang memadai untuk melakukan kewajibannya, dikatakan bahwa orang tersebut kekurangan nutrisi. Sumber daya (atau yang selanjutnya dianalogikan sebagai nutrisi) yang dimaksud dapat berupa fasilitas-fasilitas kerja, waktu yang tersedia, dana yang mencukupi, rekan kerja yang siap membantu, serta hal-hal lain yang dapat membantu produktivitas kerja seseorang.

Sebagai manusia yang terlahir di dunia ini, kita wajib untuk meningkatkan keunggulan dan kualitas diri kita dengan bekerja. Manusia yang beriman dan bekerja dengan baik menggunakan seluruh sumber daya atau “nutrisi” yang ia miliki disebutkan al-Qur’an sebagai manusia yang paling baik dan terpuji, seperti pada kutipan surat berikut : "Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan melakukan pekerjaan yang baik, mereka itu adalah sebaik-baik makhluk." (QS. al-Bayyinah, 98:7). Sebagai mahasiswa, atau lebih tepatnya mahasiswa sekolah kedinasan, Sekolah Tinggi Ilmu Statistik (STIS) telah menyiapkan “nutrisi” untuk membuat mahasiswa serta segenap civitas akademikanya produktif dalam meningkatkan kualitas dan keunggulan, yakni dalam bentuk fasilitas-fasilitas kampus, sistem pendidikan, serta bantuan finansial dalam bentuk Tunjangan Ikatan Dinas (TID) yang diberikan tiap bulannya. Tentu tanpa mengesampingkan “nutrisi-nutrisi” lain yang juga tidak kalah penting seperti doa orang tua, uang saku dari rumah, pergaulan yang sehat, ibadah kepada Tuhan, dan lain sebagainya.

11 Agustus 1958 merupakan tanggal kelahiran Sekolah Tinggi Ilmu Statistik (STIS) yang dulunya bernama Akademi Ilmu Statistik (AIS). Perguruan tinggi pencetak statistisi ini telah mengalami banyak makan asam-garam dalam perjalanannya sebagai perguruan tinggi. Pergantian pimpinan, nama kampus, kurikulum, perubahan tuntutan BPS, serta berbagai macam masalah pelik lain -yang tidak etis jika disebutkan dalam tulisan ini- tentu sudah lebih dari cukup untuk membuat kampus ini menjadi dewasa. Namun apa yang tampak saat ini justru tidak mencerminkan sekolah tinggi yang sudah berdiri lebih dari setengah abad. 56 tahun tentu bukan waktu yang sedikit. 56 tahun juga bukan warna yang hijau dalam melakukan kebijakan-kebijakan serta melakukan tindakan operasional kampus. Dalam usia yang matang ini STIS seharusnya telah mencatatkan prestasi-prestasi monumental serta menorehkan tinta emas dalam perstatistikan Indonesia atau bahkan dunia. Bukannya malah sibuk dengan urusan internal disiplin mahasiswa dan keberadaannya seakan-akan tenggelam di tengah gegap gempita kota Jakarta.

Tampilan prestasi mahasiswa yang ditempel di pintu auditorium STIS saat digelarnya opening ceremony Dies Natalis STIS tentu merupakan suatu hal yang menggelikan –apabila penyebutan kata konyol dirasa terlalu berlebihan-. Sebagai perguruan tinggi dengan usia 56 tahun, prestasi sebuah kampus dengan orang-orang terpilih seharusnya sudah tidak lagi mampu untuk dicetak dalam selembar banner dengan tulisan berukuran besar, piala-piala sudah tidak lagi mampu dipajang dalam sebuah rak kayu. Kegiatan kampus tidak perlu lagi diberi ancaman hukuman poin agar mahasiswa tidak harus datang terlambat sembari menggerutu di tengah jalan. Kemana arah dan tujuan mereka sebenarnya jika bukan ke kampus sigma?

Kejujuran, Kerja Keras, dan Kreativitas dalam Kehidupan Kampus

Dalam sistem pendidikan, penanaman karakter jujur tidak bisa diserahkan melalui kurikulum formal saja. Tetapi jauh lebih utama adalah ekosistem kampus dari hari ke hari yang memberi suasana jujur. Mahasiswa ditanamkan untuk berprilaku jujur, memahami data dan fakta yang ada secara benar, bukan sebagai hasil rekayasa. Mahasiswa tidak seharusnya dituntut hanya untuk mencari angka nilai ujian yang tinggi, namun lebih kepada pemahaman akan makna menggunakan data serta proses pengolahan data sehingga mampu menyajikannya secara tepat dan bermanfaat (Saefuddin, 2014). Nilai-nilai kejujuran semacam itulah yang seharusnya ditanamkan dalam kehidupan kampus statistisi. Setiap mahasiswa harus dididik dengan baik dan bangga akan kualitas hasil kerja mereka sendiri.

Dalam berbagai literatur, dikatakan bahwa salah satu kunci keberhasilan adalah kerja keras. Namun yang dibutuhkan saat ini tidak melulu sekedar bekerja keras siang dan malam. Era kekinian telah menggiring pergeseran kebutuhan akan kerja keras menjadi kerja cerdas. Kerja cerdas yang dimaksud dalam bentuk mendahulukan segala sesuatu yang harus dikerjakan berdasarkan skala prioritas, mengatur waktu dan tenaga agar efektif bekerja dan bermain, serta bekerja seulet mungkin sehingga hasil yang dicapai mencapai hasil yang optimal. Di kampus dengan lambang sigma ini pola pikir kerja cerdas harus sedini mungkin diterapkan. Keunggulan serta kualitas mahasiswa dapat dengan mudah dinilai dari kerja keras serta kerja cerdas yang mereka lakukan di setiap kegiatan perkuliahan.

Jean Caldwell (1950-2013), seorang peneliti di University of Houston, semasa hidupnya pernah menyampaikan bahwa “Satu-satunya orang yang benar-benar bahagia di dunia adalah anak-anak dan orang-orang kreatif”. Pernyataan Mom Caldwell ini tentu bukannya tanpa alasan. Selain anak-anak, orang-orang kreatif memiliki cara pandang yang berbeda dalam memandang suatu hal. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kreatif berarti memiliki daya cipta; kemampuan untuk menciptakan; serta menjalankan pekerjaan yang menghendaki kecerdasan dan imajinasi. Selain jujur dan bekerja cerdas, setiap mahasiswa perlu dirangsang rasa kreativitasnya sehingga kehidupan kampus menjadi lebih kaya akan warna.

Meningkatkan Keunggulan dan Kualitas Insan Statistik

Menurut Peraturan Pemerintah (PP) No. 60 Tahun 1999 tentang Pendidikan Tinggi, Pasal 2, tujuan perguruan tinggi adalah menyiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memiliki kemampuan akademik dan atau profesional yang dapat menerapkan, mengembangkan dan atau memperkaya khasanah ilmu pengetahuan, teknologi dan atau kesenian. Sembari mengupayakan penggunaannya untuk meningkatkan taraf kehidupan masyarakat dan memperkaya kebudayaan nasional. Sekolah Tinggi Ilmu Statistik (STIS) merupakan perguruan tinggi kedinasan program D-IV, yang dikelola oleh Badan Pusat Statistik (BPS). STIS mengemban visi menjadi lembaga pendidikan tinggi kedinasan yang berfungsi untuk mengembangkan dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, khususnya di bidang statistika dan komputasi statistik dengan mendidik kader yang memiliki kemampuan akademik atau profesional.

Pemberian “nutrisi” kepada calon statistisi untuk meningkatkan keunggulan dan kualitas insan statistik dalam bentuk fasilitas kampus tentu harus digunakan seoptimal mungkin untuk menunjang kegiatan-kegiatan di masa perkuliahan. Pihak kampus harus secara arif dan bijaksana memberikan ijin kepada perhelatan acara-acara kampus yang dirasa perlu untuk diadakan. Sehingga nantinya kegiatan-kegiatan tersebut diharapkan mampu menyiapkan mahasiswa dalam menghadapi tidak hanya kerasnya buku panduan, namun lebih jauh lagi, merasakan kerasnya dunia luar. Fasilitas kampus yang ada seperti ruang kelas, perpustakaan, proyektor, auditorium, meja tenis meja, halaman, serta setiap ruang yang ada di kampus tentu harus digunakan sedemikian rupa untuk kepentingan mahasiswa. Pihak kampus sudah seharusnya memperbaiki sistem perijinan ruangan-ruangan yang dirasa rumit, serta pemberian keleluasaan bagi mahasiswa untuk menggunakan setiap ruang yang ada di lingkungan kampus dengan lebih bertanggung jawab. Mahasiswa sebagai pengguna juga seyogyanya meningkatkan rasa tanggung jawab dalam menggunakan setiap fasilitas yang ada di kampus, menjaga dan memelihara seluruh fasilitas kampus.

Sesuai dengan namanya, Tunjangan Ikatan Dinas (TID) seharusnya digunakan untuk menunjang seluruh konsekuensi yang mengikat setiap mahasiswa ikatan dinas. Tidak salah memang, menggunakan TID untuk biaya kehidupan sehari-hari, tiket pesawat, ditabung, atau bahkan digunakan sebagai sarana untuk refreshing. Namun alangkah lebih bijaksana jika “nutrisi” yang diberikan kampus dalam bentuk TID digunakan untuk meningkatkan keunggulan dan kualitas setiap mahasiswa. Pembelian buku penunjang, tiket seminar, kegiatan olahraga kampus, bazaar, dan berbagai kegiatan lain, tentu memerlukan biaya. Jangan sampai kegiatan-kegiatan yang memang dimaksudkan untuk diikuti setiap mahasiswa dengan menggunakan “nutrisi” yang telah didapat, justru diabaikan dengan alasan beraneka ragam.

Ikatan alumni kampus juga dirasa perlu untuk digiatkan dan disosialisasikan lebih lanjut ke segenap civitas akademika kampus. Tentu kita tidak ingin setiap kegiatan-kegiatan kemahasiswaan di kampus justru tergantung menggunakan anggaran dana dari pemerintah yang tentunya tidak sedikit. Kampus sudah seharusnya memberi jalan bagi ikatan alumni untuk merapatkan barisan dan menggencarkan promosi mengenai kampus sigma ke dunia luar. Adalah tugas alumni yang bangga akan almamaternya mengusahakan setiap kesempatan untuk memajukan mantan almamaternya sendiri. Sudah saatnya kegiatan-kegiatan kampus seperti Konser Excelsior, Liliefors, dan Seminar Kreatif Koperasi Mahasiswa tidak hanya mendapat tempat di hati mahasiswa STIS, namun juga di dunia luar. Atau jangan sampai acara seperti Gelegar Statistik milik STIS yang seharusnya menggelegar justru bisu di hadapan acara-acara serupa yang dimiliki kampus-kampus statistik lain

Kesimpulan dan Saran

Berdasarkan paparan yang telah penulis sampaikan, statistisi (utamanya statistisi STIS) sebenarnya memiliki nutrisi yang diperlukan untuk unggul dan berkualitas. Namun penggunaan nutrisi (fasilitas kampus dan TID) yang dimaksud masih jauh dari yang diharapkan. Nilai-nilai kejujuran, kerja keras dan kerja cerdas, serta kreativitas masih perlu ditingkatkan untuk meningkatkan keunggulan dan kualitas setiap mahasiswa STIS. Saran yang dapat penulis sampaikan adalah revitalisasi kegiatan-kegiatan kampus, pemberian kemudahan akses dalam peminjaman ruangan untuk kegiatan mahasiswa, sosialisasi penanaman nilai-nilai kejujuran, kerja cerdas, dan kreativitas kepada setiap civitas akademika, sosialisasi penggunaan TID, serta dibentuknya ikatan alumni yang memiliki struktur organisasi serta tujuan yang jelas. Untuk itu, “nutrisi” yang diperoleh mahasiswa STIS dapat digunakan dengan arif dan bijaksana untuk meningkatkan keunggulan dan kualitas.

Oleh: Deko 55


DAFTAR PUSTAKA

Saefuddin, Asep. Dalam Seminar Nasional Statistika dengan Tema “Membangun dan
Mengembangkan Karakter Insan Statistik yang Profesional, Integritas dan Amanah”. Jakarta. 2014
www.chron.com . Long-time educator Jean Hines Caldwell dies – Houston University Press
Chronicle. (diakses pada 30 September 2014)
www.stis.ac.id. Sekolah Tinggi Ilmu Statistik – Sejarah Singkat. (diakses pada 30 September 2014)
www.kbbi.web.id . Definisi kata Nutrisi. (diakses pada 28 September 2014)
Definisi kata Kreatif. (diakses pada 30 September 2014)
www.stan-prodip.info. Sekolah Tinggi Kedinasan dan Ketentuan Ikatan Dinas (diakses pada 28 September 2014)

Beri Komentar